“Saya guru, Pak” demikian ungkapan lugas mantan siswa
sembari mengulurkan jabat tangan dalam perjumpaan reuni sekolah di akhir tahun.
Menybut diri guru tanpa ditanya terlebih dahulu atau memperkenalkan diri
sebagai guru tanpa menampakkan perasaan rendah diri di tengah forum, sungguh
mengharukan. Ada optimisme, ada kegembiraan, pun ada kebanggaan menjadi guru.
Andaisaja perasaan itu dialami oelh semua guru dan semua mahasiswa calon guru,
betapa beruntungnya anak-anak kita yang dididik oleh orang-orang yang gembira
dan optimis.
Secara khusus sebagai pribadi tentu lebih terharu
ketika mendengar penuturan para mantan siswa yang menjadi guru kerena
terinspirasi oleh gurunya. Satu bukti lagi bagaimanapun guru adalah sosok iklan
dan teladan yang mampu menggerakkan hati para muridnya untuk memilih kebaikan.
Pilihan-pilihan profesi siswa di masa depan pun tak jauh dari iklan para guru.
Tidak jarang terdengar ungkapan bernada bangga, seperti “gara-gara guru itu
saya sekarang menjadi seperti ini”, atau “coba kalau tak ada pak guru, pasti
saya tidak akan memilih pekerjaan ini”.
Syukurlah, kini banyak dijumpai orang-orang muda yang
memilih profesi guru dengan motivasi awal yang penuh kegembiraan. Kebaikan demi
kebaikan di sekolah pasti akan muncul dari para guru yang optimistic. Bagaimana
dengan para guru yang telah bertahun-tahun bekerja tanpa kegembiraan hati?
Pertanyaan seorang guru dalam sebuah forum, “Bagaiamana kita para guru bisa
melakukan perbaikan kalau untuk pelajaran ini satu minggu hanya enam jam
pelajaran di kelas. Kita diminta ini-itu tapi tidak pernah diberi alokasi waktu
yang cukup. Bandingkan dengan materi pelajaran yang sangat banyak, tetapi waktu
tidak mencukupi. Kalau kita mengurangi materi, nanti akan repot urusan administrasinya
….”
Sebagai pembicara dalam forum tersebut, saya merasakan
nada pesimistik dan kebuntuan jalan di balik pertanyaan itu. Satu penegasan,
rekan-rekan guru yang suka mengeluh, menuntut, tidak puas, bahkan menganggap
banyak hal sebagai kendala, mesti membongkar cara berpikir “penonton” menjadi
“pemain”. Dalam konteks pendidikan, guru bukanlah sekedar pengamat atau
penonton di pinggir arena. Para guru menjadi pemain yang menciptakan
baik-buruknya permainan, menjadi sutradara yang menciptakan cerita. Gonta-ganti
kurikulum tidak perlu direpotkan. Pahami semangat dasar pergantian kurikulum
itu, singkirkan materi aksesoris, rujukkan materi pada buku-buku utama,
sehingga lebih dari 17 tahun menjadi guru tidak sekalipun memakai buku
pelajaran atau paket dari siapapun dan penerbut mana pun.
Cara berpikir yang optimistik akan menempatkan
kesulitan atau kendala sebagai tantangan. Jam pelajaran yang terbatas,
kurikulum dan buku pelajaran yang gonta-ganti, atau cekaknya finansial justru
menjadi tantangan untuk disiasati, diatasi, dan dihadapi, serta diselesaikan.
Sekedar mengeluh dan mununtut pihak lain untuk memberikan fasitliats atau
kemudahan, kiranya jauh dari hakikat seorang guru yang mestinya bertindak
mengatasi masalah.
Sebagai guru, saya meyakini bahwa factor terbesar
untuk mengubah keadaan pendidikan adalah guru. Para gurulah yang mempunyai
murid, yang bersentuhan langsung dengan siswa, dan yang mampu membuat
merah-hitam anak-anak asuhnya. Jika guru masih mengeluh tentang siswanya, masih
mempersoalkan berbagai faktor persekolahan sebagai kendala untuk menunaikan
tugas keguruannya, maka yang perlu dipikirkan ulang justru cara berpikir para
guru sendiri.
Kembali ke perjumpaan dengan sejumlah siswa yang telah
menjadi guru dalam reuni tempo hari, saya menemukan jiwa-jiwa muda yang
optimistic. Mereka pun mampu menghadirkan optimisme pada gurunya ketika
mengucapkan “Saya menjadi guru karena ingin seperti Bapak”. Oh, cukuplah
peneguhan itu untuk bekal memasuki tahun baru.
Disadur dari buku “Menjadi Guru untuk Muridku” karya
ST. Kartono
Posting Komentar untuk "Guru mestinya Optimis"