dokumen pribadi |
Ditulis oleh : I Made Wiryana
I Made Wiryana - mwiryana@rvs.uni-bielefeld.de
Rekan-rekan pengajar
yang saya hormati, tanpa terasa teknologi informasi (TI) telah masuk ke dalam
kehidupan sehari-hari. Internet, spreadsheet, wordprocessor, database telah
menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Tidak hanya bagi mereka yang
berkecimpung dalam bidang komputer, teknik, perbankan atau sains, tapi juga
telah melebar ke bidang lainnya. Komputer dan teknologi informasi telah sampai
pada taraf pervasif, yang telah begitu menjadi satu dalam proses belajar dan
mengajar sehari-hari. Dari menulis laporan, perangkat analisis, hingga ke
pelaksanaan percobaan
Sebagai pengajar, selama
ini kita telah berusaha sekuat tenaga untuk sedapat mungkin mengajarkan
teknologi ini kepada anak didik kita, baik dari segi teoritis maupun
aplikasinya. Perkembangan teknologi yang cepat ini tanpa terasa telah
memojokkan kita untuk mengajarkan produk teknologi informasi ini secara
cepat-kilat dan terkadang cenderung potong kompas. Dorongan untuk mengikuti
perubahan teknologi ini menjadikan kita cenderung memberikan pengetahuan dengan
bersandar pada aplikasi-aplikasi yang populer belaka. Popularitas suatu
perangkat lunak yang sering kali dibentuk oleh strategi dan proses marketing
yang jitu, sering menjadi dasar pemilihan perangkat lunak pendukung materi
pengajaran. Kita kurang melihat pada kesesuaian perangkat lunak terhadap materi
pengajaran, juga sering kita mengabaikan dasar teknologi yang melandasinya.
Bahkan terkadang kita melupakan tujuan dari pendidikan itu sendiri.
Secara sadar atau tidak
sadar dan sengaja atau tidak sengaja, demi mengatas-namakan mengejar
ketinggalan teknologi, kita telah mengabaikan etika yang seharusnya kita
junjung tinggi dalam lingkungan akademis ini. Tanpa sadar kita mengajarkan
pengetahuan teknologi informasi ini dengan mengabaikan hak cipta si pembuat
perangkat lunak. Sebagian besar perangkat lunak yang kita gunakan adalah
"bajakan" (sengaja saya beri tanda kutip, karena secara hukum tidak
bisa dikatakan bajakan karena banyak institusi telah membeli satu lisensi
perangkat lunak, tapi secara etis adalah bajakan karena banyak mahasiswa yang
mengkopinya secara sadar). Tanpa sadar secara perlahan kita memberikan
justifikasi keabsahan penggunaan perangkat komersial bajakan. Hal ini
disebabkan proses pengkopian tersebut dilakukan terhadap program komersial,
bukan ke suatu program yang bersifat Open Source.
Memang kita bisa
beralasan dengan menyatakan bahwa situasi pada saat itulah yang mendorong dan
memaksa kita melakukan hal itu. Keterbatasan arus informasi menjadikan
seakan-akan kita tidak memiliki pilihan lain yang lebih aplikabel. Harga
perangkat lunak yang mahal serta lajunya perubahan perangkat lunak dan trend
yang ada. Itikad baik kita untuk mengajarkan pada para mahasiswa aplikasi yang
terbaru demi mempersiapkan mereka terjun ke lapangan pekerjaan juga mendorong
kita untuk melakukannya. Sekarang adalah saat yang tepat untuk kita renungkan
satu per satu. Apakah ada langkah alternatif lainnya yang mencegah kita
melakukan pilihan yang sama ? Situasi perekenomian yang sulit dan perkembangan
teknologi informasi yang cepat mengharuskan kita memikirkan dengan lebih
jernih, seksama, strategis dan taktis, tanpa mengabaikan etika yang ada.
Mungkin sekitar 1993-an
kita masih bisa berlindung di balik alasan ketersediaan perangkat lunak yang
minim di Indonesia. Jangankan program Open Source yang gratis, pilihan program
komersial yang tersedi sangat terbatas sekali. Free Software Foundation,
Linux, FreeBSD, GNU masihlah sangat jarang terdengar dan
gaungnya nyaris tak terdengar di Indonesia. Pada saat ini, hampirs setiap
majalah komputer dan bisnis telah membahas Linux dan trend Open Source ini
(majalah komputer dan bisnis di Indonesia yang masih jarang sekali
memasukkannya ke dalam bahasannya, mungkin hanya Elektro, dan Infokomputer yang
pernah sekilas membahasnya). Walau begitu gaungnya tetap belum terdengar keras
di Indonesia. Terbukanya arus informasi via Internet seharusnya menjadikan kita
menoleh kepada pilihan yang ini. Tetapi sepertinya kita kembali menjadi
penonton yang ketinggalan jaman lagi seperti yang sudah-sudah. Haruskah kita
mengulangi kesalahan yang sama ini? Semua itu berpulang pada kita sebagai pengajar.
Akankah kita tetap mengajarkan teknologi informasi kepada para anak didik kita,
dengan menggunakan perangkat lunak "bajakan" atau komersial yang
mahal, atau memilih menggunakan perangkat lunak Open Source, yang murah atau
bahkan gratis. yang tersedia source code, yang memungkinkan untuk dianalisis,
dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan kita ?
Mari kita lihat
kekurang-tepatan apa lagi yang telah kita lakukan selama ini tanpa sengaja.
Dengan hanya mempelajari perangkat lunak yang "jadi dan tertutup"
bahkan yang "legalitasnya dipertanyakan", kita menempatkan anak didik
kita berada pada posisi benar-benar sebagai end-user. Mereka siap menjadi
seorang konsumer yang selalu hanya bisa menerima perubahan perangkat lunak dan
selalu mengikuti popularitas model. Penyakit ``up-grade syndrom'' makin melanda
kepada konsumer teknologi informasi. Bukannya sebagai pengguna yang bijaksana
memilih perangkat lunak atau pengembang perangkat lunak. Sehingga mereka harus
selalu belajar hal yang baru setiap kali terjadi perubahan versi perangkat
lunak yang baru. Ini merepotkan juga bagi kita para pengajar dan juga mereka
yang mempelajarinya. Selain itu setelah mereka selesai mempelajari suatu
penggunaan perangkat lunak, perangkat lunak tersebut telah menjadi "out of
date". Oleh karena itu kita harus "back to basic" kita harus
menggunakan perangkat lunak yang memiliki perkembangan yang konsisten dan
bersifat evolusi. Dengan kata lain si siswa dapat melihat bahwa si perangkat
lunak itu memang terbentuk dari perangkat lunak yang ada sebelumnya, sehingga
apa yang telah dipelajari sebelumnya menjadi tidak sia-sia. Di samping itu,
perangkat lunak yang kita gunakan untuk mengajarkan teknologi informasi
seharusnya mampu memberikan landasan pengetahuan yang baik. Sehingga mendorong
anak didik kita dapat lebih bijaksana dan tepat dalam memanfaatkan teknologi
informasi.
Dari sisi etika pun,
kita telah mengajarkan sesuatu yang kurang tepat. Memang secara hukum kita pada
saat itu tidak bisa dibilang salah karena Indonesia belum terikat Konvensi
Wina. Tetapi secara etis hal tersebut tidak bisa dibenarkan. Mari kita
renungkan bersama kembali, etis kah kita melakukan peng-kopian suatu perangkat
lunak komersial ? Secara perlahan, kebiasaan menggunakan aplikasi komersial
yang tertutup itu menjadikan para anak didik kurang memiliki intuisi sebagai
developer. Mereka hanya benar-benar sebagai pengguna suatu kotak hitam yang
bernama program aplikasi. Daripada mengembangkan aplikasi yang sesuai kebutuhan
mereka, mereka cenderung untuk mengcopy program yang telah ada. Hal ini terbawa
terus ketika mereka masuk dalam lingkungan kerja. Sehingga ketika mereka
bekerja, mereka menjadi ``big spender'' yaitu cenderung membeli program jadi
komersial. Secara tidak sengaja, mereka menambah beban perekonomian nasional.
Di era reformasi ini,
tampaknya kita juga harus mereformasi cara pandang kita terhadap penggunaan
perangkat lunak. Kebiasaan menggunakan perangkat lunak jadi telah menjadikan
suatu ketergantungan terhadap suatu produk jadi. Bukankah menggunakan perangkat
lunak ilegal adalah salah satu bentuk ``korupsi'' pula ? Haruskah kita
membiarkan para mahasiswa kita berteriak anti korupsi tapi di saat yang sama
melakukan korupsi pula dengan cara menggunakan perangkat lunak bajakan ?
Haruskah kita membiarkan mereka terjebak ke dalam situasi ini, hanya karena
kebiasaan dan ketidak-perdulian ?
Rekan-rekan pengajar,
kesempatan menjadi "trend setter" kini berada pada kita, pilihan
terbuka di depan mata. Haruskah kita mengulangi kesalahan yang pernah kita
lakukan di hari-hari yang lalu. Hanya sekedar menjadi pengekor yang mengikuti
keinginan pasar. Sekarang adalah saat yang tepat untuk menunjukkan kemampuan
kita. Saat yang tepat untuk membentuk pasar yang siap diantisipasi oleh para
mahasiswa kita nantinya. Saat yang tepat untuk mengembangkan kemampuan tenaga
teknologi informasi lokal, dan saat yang tepat untuk menangguk devisa negara
melalui teknologi informasi.
Open Source ini membuka
kesempatan kepada kita dan para mahasiswa untuk menjadi pembuat perangkat
lunak, atau menyediakan jasa yang berkaitan dengan teknologi informasi.
Solusi-solusi lokal akan dapat diwujudkan, Value Added Reseller menjadi lebih
terbuka. Internet menjadikan semua jaringan relatif terikat menjadi satu.
Kemampuan tenaga TI lokal akan memungkinkan terbukanya kesempatan kerja di
manca negara. India dan China telah menjadi penyedia tenaga kerja TI yang cukup
sukses. Haruskah kita tertinggal kembali ?
Dengan trend Open Source
ini kita para pengajar dapat secara aktif membantu para mahasisswa. Kita dapat
aktif membantu membuat dokumen pembantu, misal HOW-TO, Frequently Asked
Question (FAQ) atau manual. Juga secara aktif kita dapat menyebarkan
pengetahuan tentang program Open Source, seperti LINUX dan lainnya melalui
kesempatan di kelas ataupun kegiatan akademis dan non akademis lainnya. Bahkan
bila perlu kita dapat melaksanaan kuliah umum, seminar ataupun pameran untuk
memperkenalkan Open Source ini kepada para mahasiswa kita. Ketersediaan beragam
aplikasi dalam lingkungan OpenSource, yang memungkinkan pula untuk kita gunakan
dalam proses belajar-mengajar, tidak hanya dalam mata kuliah komputer, tapi
juga mata kuliah lainnya, seperti biologi, kimia, akuntansi, linguistik,
psikologi dan sebagainya. Kita dapat mendorong para mahasiswa untuk tertarik dan
terlibat untuk memanfaatkan dan mengembangkan Open Source, dan GNU/Linux ini.
Secara perlahan-lahan, para mahasiswa diharapkan nantinya akan berkembang
menjadi developer yang handal, yang berfungsi tidak hanya sebagai end-user yang
hanya mengerti menggunakan sebuah kotak hitam saja. Mereka yang tidak tertarik
bekerja sebagai developer pun dengan kebiasaan memakai program dalam lingkungan
Open Source ini akan terbiasa menjaga ``etika kerja'' dalam pemrograman. Secara
tidak sadar kita telah memulai suatu evolusi pola pikir dan pola pandang. Suatu
kemajuan akan tercapai secara perlahan.
Semua jenis aplikasi
yang ada di platform yang biasa kita populer digunakan pada saat ini, tersedia
padanannya di lingkungan Open Source. Bahkan beberapa aplikasi yang ada di
lingkungan Open Source tidak ada di lingkungan yang kini populer digunakan.
Keterbatasan program aplikasi bukanlah suatu alasan yang cocok untuk
menghalangi kita menoleh kepada penggunaan program jenis Open Source ini. Semua
program Open Source terbuka programnya sehingga membuka kesempatan bagi kita
untuk menyesuakian dengan kebutuhan kita.
Rasanya kurang pantas
dan bahkan terkesan janggal, bila kita sebagai para pengajar bidang teknologi
informasi menjadi tertinggal dengan para mahasiswa yang mulai menyukai konsep
Open Source seperti Linux dan program GNU lainnya. Bukankah seharusnya kita
menjadi tempat bertanya bagi mereka, dan rekan diskusi bagi para mahasiswa
kita. Janganlah kita menjadi tertinggal dan hanya bisa menghindar ketika mereka
bertanya tentang Linux dan program Open Source lainnya. Trend yang menyegarkan
ini sudah mulai melanda para mahasiswa Indonesia, dengan makin digunakannya
Internet. Tidak saja bagi para mahasiswa bidang teknologi informasi, bahkan
juga bidang-bidang lainnya kini telah mengenal Linux dan GPL nya. Sudah pada
tempatnya bila kita juga turut serta aktif mengembangkan trend yang sesuai
dengan lingkungan pendidikan ini. Para mahasiswa dan para pengguna Linux
lainnya telah membentuk Kelompok Pengguna Linux sebagai ajang saling berdiskusi
dan belajar. Bukankah akan sangat baik sekali bila kita turut terjun dalam
kegiatan yang menggairahkan ini ? Dukungan para pendidik sangat diharapkan demi
kegiatan ini.
Akhir kata saya hanya
ingin mengajak rekan-rekan sesama pendidik bidang teknologi informasi dan
bidang lainnya pula, untuk melihat jalur alternatif ini dalam menyampaikan
materi pelajaran yang kita berikan bagi anak didik kita dan dalam membentuk
pola pikir para mahasiswa. Sekali lagi mari kita renungkan sebelum kita
tentukan langkah di pada masa mendatang dengan tepat. Selamat bertugas, jalan
masih panjang.
Posting Komentar untuk "Surat terbuka kepada pada para pendidik, terutama bidang Teknologi Informasi (TI) di Indonesia"