Setiap ada yang menyebutkan nama kampungku, seketika kutemukan dua
sosok manusia yang telah membesarkan, membimbing, saling berdiskusi, saling
menebar kasih sayang. Namun beliau telah dipanggil Allah swt. Rasa rinduku
semakin menggebu. Terlebih kala takbir menggema disela-sela perkampungan, atau
menebar lewat masjid.
Setiap ada yang menyebut nama kampungku, kupingku ingin mendengar
mercon bumbung. Teknologi tepat guna, entah siapa yang menemukan pertama kali.
Suaranya bikin tangan geregetan menyulut suluh api yang dimasukkan ke lubang
bambu. Seketika itu juga suara menggelegar. Hati girang tak terperi. Hiburan
kami, orang desa yang tak mampu membeli mercon obat. Namun suara mercon
bumbunglah yang paling nostalgiatik.
Setiap ada yang menyebut nama kampungku, baju baru kutata rapi
diantara himpitan pakaian lainnya yang telah lusuh. Almari dapat kubuka sampai
lima kali sebelum kukenakan sampai tanah lapang. Akan kuingat warna dan bau
toko. Kuhitung garis dan warnanya tak berkurang. Kuingat gambar nama ikan tepat
dibawah saku kiri, yang warnanya senada dengan celana celana pendek. Ayah
memang seorang yang hebat memadukan warna.
Setiap ada yang menyebut nama kampungku, aku teringat jumlah
lodongan tertata rapi di meja tengah maupun meja bundar didepan. Aku yang
menata kue kering dengan sangat ritmis. Kupastikan kue tertata rapi sesuai
bentuknya. Kututup lodongan dengan penyekat kertas, agar udara tak masuk
kedalam. Kue akan awet renyahnya untuk beberapa hari kedepan.
Setiap ada yang menyebut nama kampungku, penganan buatan ibu atau
mbah putri selalu menarik perhatian. Wajik, ketan, jenang alot, tape,
kolang-kaling, ager-ager, bila ini dirasa kurang silahkan sebutkan sendiri nama
penganan di rumahmu buatan tangan-tangan perkasa yang tak kenal lelah. Sungguh
aku rindu manisnya wajik merah, sungguh aku kangen kecutnya tape yang dicangkul
dengan emping, sumpah aku ingin merasakan kemeruyuknya rengginang.
Setiap ada yang menyebut nama kampungku, teringat ketupat
bergelantungan di dinding pawon. Tempat yang tidak mungkin kulupakan, karena
dari sanalah aku tumbuh. Ritual yang tidak pernah terlupakan membuat opor ayam.
Menyembelih ayam bagi kami, tidak mesti dua atau tiga bulan sekali. Kehadiran
ayam terpanggang di atas wajan yang telah diguyur air santan, bikin ludah
semakin deras kutelan. Api menjilat-jilat untuk membakar wajan. Asap yang
membuat pedih mata hingga keluar air mata. Namun sekarang air mata terasa pedih
karena tidak asap dapur.
Setiap ada yang menyebut nama kampungku, anak-anak tidak ada yang
gondrong. Semua cukur pendek. Kebanyakan model kuncung. Satu kebiasaan yang
tidak boleh ditawar. Bagi kami, tukang cukur bak malaikat yang siap menyikat
habis rambut kepala kami. Dengan alat cukur, yang entah sudah diasah atau
belum, yang jelas rambut terasa pating clekit, ngampet sakit.
Hanya satu obat yang membuat kami tak merasakan sakit. Sesuk bodo (besok
lebaran).
Setiap ada yang menyebut nama kampungku, berkelompok-kelompok
anak-anak sungkem ke tetangga. Ikut-ikutan minta maaf. Yang sering kami ucapkan
adalah “Mbah kulo nyuwun ngapunten” hanya singkat seperti itu. Tapi
simbah tetap tersenyum, meskipun buah jambu atau jeruknya sering kami curi.

Posting Komentar untuk "Setiap Ada yang Menyebut Nama Kampungku"