![]() |
sumber gambar : ngerumpi.com |
Kegiatan
rutin yang tidak boleh dilewatkan keluarga kami adalah mendengarkan sandiwara
radio “Dokter Darman”. Selepas maghrib. Diterangi oleh lampu petromax,
satu-satunya alat penerang yang masih moncer saat itu.
Radio
sebagai media hiburan yang juga satu-satunya dimiliki oleh keluarga kami,
benar-benar senantiasa menjadi teman dan sekaligus sebagai media pembelajaran.
Semua informasi yang datang dari luar
disadap lewat radio. Tape Recorder sebagai alat hiburan yang lebih
mewah, dimiliki oleh tak lebih dari 3
orang di rumpun desa kami.
Akhir
tahun 70-an. Demikian perkiraan yang dapat saya tebak. Walaupun desa saya
termasuk ibu kota kecamatan, namun cukup terisolir, karena sangat jarang desa
yang dapat ditemukan bila melanjutkan perjalanan dari arah kabupaten. Bisa jadi
Bapak Bupati saat itu belum punya pemikiran untuk membangun sarana transportasi
yang memadai dikarenakan wilayahnya menemui jalan buntu yaitu di desa saya.
Kehidupan
seorang dokter bagi orang desa hampir selalu menjadi panutan, disamping
tentara. Dokter sebagaimana profesinya adalah orang yang dapat menyembuhkan
orang sakit. Bagi orang desa yang saat itu masih buta terhadap lika-liku
kesehatan, dokter ibarat dewa penolong. Sekalipun sudah ada mantri kesehatan.
Sandiwara
yang dimainkan oleh sanggar prativi dapat menghipnotis, karena lihai
menggerakkan emosi. Tak berlebihan bila karakter yang dibangun oleh pemain
menjadi hidup dan seolah-olah memang menjadi kejadian yang nyata.
Sandiwara
radio berbeda dengan film atau sinetron. Pendengar bebas untuk mengekspresikan
apa yang didengar. Saat saya mendengarkan alur cerita dokter Darman, yang saya
bayangkan saat itu adalah kehidupan di rumah sakit. Lorong yang panjang dan
menakutkan. Tempat tidur berjajar dengan kasur yang kumal. Wajah dokter yang
demikian wibawa, apalagi bila sudah memegang alat suntik. Suara dokter bak
malaikat, yang setiap pasien atau keluarganya tak akan berani membantah.
Sisi
lain dari sandiwara itu adalah pengungkapan pribadi dokter diluar profesi.
Sebagai salah satu anggota masyarakat yang hidup ditengah masyarakat, dokterpun
bisa menempatkan diri. Itulah mengapa sandiwara ini selalu dinanti jam
tayangnya terutama keluarga saya.
Persaingan
antar dokter, pertikaian dengan pimpinan, kecemburuan, hubungan yang cukup
dekat dengan pasien lawan jenis, menambah renyah alur cerita.
Sutradara
paham benar watak pendengar. Saya perkirakan penulis cerita dan sutradara orang
yang sudah paham bagaimana menyuguhkan sebuah sajian berupa sandiwara radio
yang dapat menghibur sekaligus pembelajaran tentang pentingnya kesehatan.
Sandiwara
radio sekarang jarang diminati. Orang lebih suka mendengarkan musik yang lebih
ringan mencernanya. Informasi peristiwa juga menyita waktu siaran. Warta berita
yang dikemas dalam sajian budaya pop
semakin banyak diminati. Tidak membutuhkan alat pikir yang mendalam,
untuk mengunyah sebuah berita.
Posting Komentar untuk "Rindu Sandiwara Radio "Dokter Darman""