Pulang

Tradisi mudik tak hanya dimiliki oleh bangsa Indonesia. Di belahan bumi lain, mudik atau pulang kampung halaman sudah menjadi kebiasaan. Di China ada sekitar 260 juta atau 18% warga yang merantau berkesempatan untuk pulang.

Dalam tadisinya, Tahun Baru Imlek adalah festival sebagai tanda untuk merayakan tahun baru kalender tradisional Cina. Kebiasaan ini terus dihidupkan sebagai tanda untuk menghormati dewa serta leluhur. Menurut sejarah, Tahun Baru Imlek adalah pesta untuk menyambut datangnya musim semi, setelah sebelumnya didera oleh musim dingin yang suram. Sebab mayoritas penduduk Cina waktu itu adalah petani.

Pulang ke kampung halaman adalah impian bagi setiap manusia yang sedang merantau. Berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun dengan sabar menunggu, pulang ke rumah orang tua pada saat yang tepat. Waktu yang paling ditunggu adalah mudik lebaran. Momen yang tepat untuk bersua dengan keluarga besar. Suasana lebaran yang humanis, yang meleburkan strata sosial. Mengembalikan jati diri yang ada, yaitu simbah (sesepuh), orang tua dan saudara. Baik saudara dekat maupun jauh.

Umar Kayam, dalam bukunya “Madhep Ngalor Sugih, Madhep Ngidul Sugih”, menulis dua judul tentang lebaran. Sebagai seorang budayawan, beliau meneropong kebiasaan orang mudik lebaran. Transportasi, yang dari dulu hingga sekarang masih menjadi persoalan. Paseduluran (kekerabatan antar keluarga). Berlatar belakang budaya jawa, pembicaraan tidak akan lari dari trah keluarga. Tak kalah pentingnya adalah makanan khas lebaran. Opor ayam, sambel krecek yang dicampur denga pete yang menthes-menthes, sambel ati, krupuk udang, ketupat, dan sirup.

Itulah mudik secara ragawi. Dapat melihat wajah yang sumringah, merasakan betapa bersyukurnya bertemu kedua orang tua yang masih sugeng. Menikmati pedasnya sambal trasi olahan ibu yang citra rasanya masih sama seperti puluhan tahun lalu. Bau khas tanahnya kala hujan tiba, atau deburan debu saat diterpa angin.

Pulang secara ragawi sesungguhnya simbol. Dari mana sebenarnya kita mulai hidup. Apakah perjalanan waktu yang kita tempuh sudah sesuai dengan keinginan saat masih kecil? Apakah keberadaan kita sudah sudah bermakna? Untunglah, Ebiet G. Ade mengingatkan lewat syair pulang. Mari kita pulang sejenak. Menguliti dan membasuh kembali.


Ke manapun aku pergi

Bayang-bayangmu mengejar

Bersembunyi di manapun

Selalu engkau temukan

Kutanya pada siapa
Tak ada yang menjawab
Sebab semua peristiwa
Hanya di rongga dada
Pergulatan yang panjang
Dalam kesunyian

Aku mencari jawaban di laut
Kuseret langkah menyusuri pantai
Aku merasa mendengar suara
Menutupi jalan
Menghentikan petualangan

Du-du-du-du du-du-du ...

Masih mungkinkah pintumu kubuka
Dengan kunci yang pernah kupatahkan?
Lihatlah, aku terkapar dan luka
Dengarkanlah jeritan dari dalam jiwa

Aku ingin pulang
Aku harus pulang
Aku ingin pulang
Aku harus pulang
Aku harus pulang

Posting Komentar untuk "Pulang"