Perkawinan

Entah nomor ke berapa, pembaca meletakkan target perkawianan dalam agenda hidupnya. Yang jelas berapapun nomornya, perkawinan pastilah menjadi skala prioritas. Sama halnya dengan menuntut ilmu dan mencari kerja. Orang bilang kerja dan kawin seperti dua sisi mata uang yang saling ketergantungan. Tidak pantas, kalau melakukan pernikahan sebelum memiliki pekerjaan. Ada pula yang bilang, nikahlah segera bila cukup berumur. Pekerjaan akan datang sendiri. Apa bener?

Nasehat orang tua atau sesepuh, perkawianan menjadi kebutuhan pokok yang harus dikejar. Perkawinan merupakan impian yang mesti diwujudkan. Sebab kata tetua, perkawinan dapat mengangkat derajad orang tua dan keluarga.

Tujuan perkawinan adalah membentuk masyarakat baru. Agar jelmaan masyarakat baru itu mendapat kebahagiaan. Keluarga yang terbentuk ini, diharapkan memberi rasa aman dan nyaman bagi anggota keluarganya dan masyarakat.  Masyarakat yang damai, bertunas dari keluarga yang sehat dan sejahtera. Karenanya, perkawinan itu dibentuk dari dua makhluk yang berbeda. Agar satu dengan lainnya saling mengisi.

Perkawinan itu mudah, jikalau diletakkan pada pondasi yang semestinya. Asal sudah memenuhi syarat sahnya perkawinan, tanpa harus dirayakan yang kadang berlebihan, maka ikatan perkawinan telah sah dan lunas. Hanya saja, sebagai makhluk sosial, kita tidak bisa menghindari dari kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Sehingga yang ditemui justru sebuah arena perkawinan yang telah mengalami bias. Spektrumnya melenceng dari garis yang semestinya. Yang mestinya mudah dan ringan, akan terasa berat dan melelahkan. Ribet karena harus mempertahankan status sosial. Rumit karena harus mengikuti alur adat setempat.

Perkawinan hendaknya berujung pada kebahagiaan. Sulaman itikad harusnya terurai dari rencana yang telah disepakati. Dua makhluk yang akan menjalani kehidupan baru harusnya mampu mempertahankan jalan yang telah disketsa bersama. Namun, tidak jarang impian kebahagiaan direnggut oleh nilai-nilai yang tertancap dalam tradisi. Marah Rusli seorang novelis menulis dalam buku Memang Jodoh,

Pertama: Karena perkawinan dipandang sebagai perkara ibu, bapak, dan mamak, bukan perkara anak yang akan dikawinkan, sehingga anak yang akan menjalani dan akan merasakan buruk-baik perkawinan itu seumur hidupnya, tanpa tahu apa-apa, harus menurut saja kehendak orangtua atau mamaknya. Herankah kita kalau perkawinan yang demikian jarang yang selamat dan lekas putus.

Kedua, karena suami dipandang sebagai orang semenda (pertalian keluarga karena perkawinan dengan anggota satua kaum), orang datang, yang tak punya hak apa-apa atas isteri dan anaknya, sehingga dia tidak punya tanggung jawab atas anak dan isterinya itu. Dimana-mana, suami itu dipandang sebagai kepala keluarga, sehingga dia bertanggung jawab penuh atas anak dan istrinya, yang harus dipelihara dan dibelanya. Menurut sifat-sifatnya sebagai manusia, memang dialah pemelihara dan pembela. Tetapi mengapa di Padang ini, dia dijadikan orang yang dipelihara dan dibela, sehingga tiada dapat dia menjalankan kewajibannya, sebagai suami dan bapak?

Tulisan di atas memang diambil dari sebuah novel yang terjadi beberapa puluh tahun silam. Namun bila kita cermat, tidak sedikit fenomena ini masih banyak dijumpai dalam masyarakat. Anak yang mestinya telah mandiri, masih juga dituntun, disuap. Atau malah kita sendiri yang justru mengajarkan anak terlalu menggantungkan pada kita.

Posting Komentar untuk "Perkawinan"